Perbedaan Konteks Dan Perspektif Demokrasi Era Orba Versus Pasca Orba

- 29 Juni 2024, 11:11 WIB
Ilustrasi demokrasi.
Ilustrasi demokrasi. /Pixabay/geralt/

(Catatan Akhir Pekan)
Palu, 29 Juni 2024

Sejumlah akademisi yang sadar menyadari bahwa jika dibandingkan Demokrasi di masa Orba dengan Demokrasi saat itu beda jauh konteks dan perspektifnya.

Soeharto mampu berkuasa selama 32 tahun (Hampir 7 priode) sedangkan kepala pemerintahan pasca Soeharto setiap priode tertentu maksimal 2 priode (10 tahun) terus berganti termasuk Jokowi tiga bulan lagi akan lengser secara konstitusional dan akan menjadi rakyat biasa.

Kalau dulu Rezim Orde Baru berkuasa selama 32 tahun hampir setiap lima tahun dilaksanakan Pemilu dan proses suksesi kepala pemerintahan melalui demokrasi elektoral (Prosedural) yang terlaksana secara palsu (fake) dan seperti hanyalah selogan implementasi demokrasi prosedural.

Karena pada saat itu pemilihan kepala pemerintahan baik itu pemilihan Presiden/Wapres maupun pemilihan Kepala Pemerintahan tingkat Provinsi, Kota dan daerah dipilih tidak secara langsung tapi juga sering diduga ada deal dela dan skenario tertutup yang mengarah ke kolusi nepotisme. Pemilihan saat itu masih melalui lembaga legistlatif parlemen (DPR/MPR, DPRD).

Merekayasa pemilihan kepala pemerintahan di masa ORBA yang pemilihannya liwat Parlemen justru relatif jauh lebih muda dan lebih murah dibandingkan pemilihan langsung direct democracy seperti saat ini.

Eksekutif heavy di mana eksekutif jauh lebih dominan dan jauh lebih berkuasa sehingga tiga cabang kekuasaan kelihatan justru tidak berimbang sehingga checks and balances tidak jalan sebagaimana mestinya dan distribusi kekuasaan menurut konsep Trias Politika dalam pemerintahan hanyalah slogan doang yang tidak bermakna.

Suksesi dan peralihan kekuasaan di masa Rezim Orde Baru justru relatif jauh lebih muda dikontrol dan diatur oleh Soeharto dan kroni kroninya.

Yang paling bekuasa saat itu Golkar, Militer dan Soeharto.

Jadi cukup jelas pemilihan Presiden dan pemilihan kepala daerah/kota justru jauh lebih muda direkayasa berdasarkan keinginan penguasa pada waktu itu.

Makanya dulu ada anekdot dan parodi yang sempat viral, menganalogikan perbandingan di beberapa negara terkait pemilihan presiden di sejumlah negara.

Sempat viral cerita perbedaan hasil pemilu di beberap negara misalnya kalau di Amerika yang kala itu sudah menggunakan teknologi digital sederhana masih generasi awal dan saat usai pemilu di mana hasil PILPRES bisa diketahui siapa presiden terpilih hanya dalam hitungan menit. Dan di Inggris pemilihan kepala pemerintahan (Perdana Mentri) hasil Pemilihan bisa diketahui siapa Perdana Mentri tepilih hanya dalam hitungan jam, di India hanya dalam hitungan beberapa hari setelah Pilpres bisa diketahui siapa yang secara resmi jadi presiden India terpilih.

Namun, kritikan pedas dan menohok terkait pemilu dan PILPRES di Indonesia era Orba sempat juga disindirj dan dikatakan Pilpres Indonesia di Era OBA justru jauh lebih hebat
lagi karena beberapa bulan atau beberapa tahun sebelum PILPRES sudah bisa diprediksi dan diketahui siapa yang akan terpilih jadi Presiden RI.

Zaman Orba dulu belum ada penyelenggara pemilu yang netral dan independen (imparsial), beda dengan sekarang sudah ada lembaga penyelenggara pemilu yang termasuk independen dan netral seperti KPU(D), Bawaslu, Gakumdu dan ada juga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu DKPP - RI.

Lagi pula dulu belum ada Lembaga Yudikatif seperti Mahakamah Konstitusi yang merupakan Lembaga penyelesaian sengketa Pemilu.

Juga di masa Orba belum ada KPK Lembaga Yudikatif yang menyidangkan kasus tindak pidana Korupsi yang masuk kategori Kejahatan Luar biasa (Extra Ordinary Crime).

Soharto dan kroni kroninya menikmati kekuasaan dan hasil kekayaan alam Indonesia selama 32 tahun atau hampir 7 priode.

Di masa ORBA ada anomaly penerapan demokrasi. Seandainya tidak terjadi krisis ekonomi tahun 1997/1998, mungkin pemerintahan Orba belum tumbang dan masih terus berkuasa.

Kata Prof. Amin Rais, Presiden di era ORBA mirip Raja (Monarki Absolut) dia paling dominan dan sangat berkuasa. Sehingga muncul istilah dari Amin Rais yang sempat jadi akronim dan jadi jargon politik populer sampai saat ini yaitu maraknya praktek KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme).

Cuman perlu pula disadari sejumlah lembaga kenegaraan terkait dengan penyelenggaraan pemilu dan lembaga yudikatif lainnya oleh sejumlah masyarakat yang idealist menganggap lembaga tersebut disinyalir ada yang belum independen dan netral walaupun dianggap sebagai lembaga imparsial. Dengan bukti dan tuduhan tebang pilih dan penyelesaian kasus hukum.

Memasuki Priode ke tujuh atau setelah 32 tahun Rezim ORBA berkuasa, rakyat sudah muak dan akhirnya berkolaborasi dengan pihak kampus dan berbagai elemen masyarakat. Kemudian melakukan gerakan people power dan akhirnya bisa menumbangkan pemerintahan Orba.

32 tahun Soharto berkuasa anak anaknya lebih banyak terjun kedunia bisnis dari pada masuk ke dunia politik praktis. Keluarga cendana disoroti ketika anak anak Soharto berbisnis mengandalkan backing kekuasaan Soharto pada saat itu. Sejumlah aturan dan kebijakan ekonomi dibuat telah menguntungkan bisnis keluarga cendana menurut kritikan masyarakat pada waktu itu.

Jokowi berkuasa dua priode, meniti karir bisnis kemudian terjun kedunia politik menjadi kepala pemerintahan kota, provinsi dan terpilih jadi presiden dua priode. Tercatat tidak pernah kalah dalam pemilu.

Anak-anak Jokowi awalnya sempat terjun ke dunia bisnis. Kedua putranya sempat mengikuti pendidikan tinggi di Singapura dan Australia dan kemudian balik ke tanah air menjalankan bisnis. Sedangkan anak yang putri mengikuti kuliah di dalam negeri dan setelah meraih gelar Sarjana dari IPB ingin jadi PNS tapi ketika ujian seleksi PNS dinyatakan tidak lulus padahal waktu itu Jokowi sudah jadi Presiden di priode pertama. Penyelenggara ujian seleksi PNS/ASN tetap bersikap objektif dan putrinya Kahiyang juga tidak menguruh ayahnya atau pak Mentri yang membidangan untuk intervensi agar Kahiyang bisa lulus PNS/ASN.

Yang menarik Jokowi hanya berasal dari keluarga sederhana dan termasuk keluarga pas-pasan kehidupan secara ekonomi.

Sebelumnya Jokowi tidak punya latar belakang sebagai aktivist organisasi kemahasiswaan yang berafiliasi atau berorientasi politik ketika masih mahasiswa dan kuliah di UGM. Jokowi justru hanya menjadi mahasiswa pencinta alam.

Wacana Presiden 3 Priode bukan datang dari presiden jokowi pribadi tapi wacana ini justru digagas oleh ellit elit politik dari tiga parpol yang berkuasa (The Ruling Parties) dan sebenarnya Jokowi secara terbuka menolaknya. Elit elti partai yang juga ada yang sudah jadi mentri disinyalir menginginkan Jokowi terus berkuasa agar mereka tetap masih punya jabatan dan bisnisnya (bisnis keluarga) juga terus bisa jalan.

Wacana Presiden 3 priode itu berbahaya bisa kecanduan dan keterusan dan bisa terjangkit penyakit haus kekuasaan seperti di negara negara komunis dengan sistem totalitarian. Apalagi di negara dengan sistem monarki absolut yang mempraktekkan dinasti politik. Kepala pemerintahan tidak dipilih tapi ditunjuk berdasakan garis keturunan dan disipkan melalui jalu putra mahkota (crown prince).

Dinasti politik itu hanya ada di negara monarki absolut seperti di Saudi Arabia, Jordania dll, dan di negara komunis dengan sistem pelerintahan totalitarian seperti di Korea Utara.

Anggota keluarga Jokowi akan tetap punya peran di rana Politik Praktis. Namun akan terus mengalami tantangan dan resistensi. Lihat saja proses pencalonan Gibran, Kaesang dan Bobi Nasution terus mendapat resistensi dan kritikan menohok dari pihak oposisi.

Jokowi masih punya pengaruh ke depan tapi peran dan pengaruh Jokowi ke depan tidak sekuat pengaruhnya saat dia amsih menjabat sebagai kepala pemerintahan/kepala negara bahkan bisa diprediksi pengaruh Politik Jokowi dan keluarganya ke depan berpotensi melemah dan hilang jika Jokowi dan keluarganya tidak punya posisi jabatan penting di Parpol yang berkuasa (The Ruling Parties).

Peluang perwira militer yang aktif dan yang sudah purnawirawan di era rezim Prabowo Gibran tentu akan tetap diperhitungkan dan terus diapresiasi jasa jasa mereka. Namun, kebijakan dwi fungsi TNI ke depan mungkin tidak akan terwujud karena Indonesia makin demokratis.

Roda pemerintahan akan terus diawasi secara optimal oleh rekyat di luar sistem maupun wakil rakyat di parlemen.
Era Digital membantu pemerintahan ke depan lebih transparant dan akuntabel.

Akhirnya juga tentu telah disadari bahwa yang jelas sampai saat ini belum ada satupun pemerintahan yang paling sempurna walaupun sistem Pemerintahan Demokrasi dan sistem pemerintahan Teokrasi dan Khilafah oleh pengagumnya dianggap sistem yang ideal.

Sistem pemerintahan yang ideal penilaian dan pertimbangannya juga mungkin ada yang masih dianggap bias atau subjektif. Dan dikatakan suatu pemerintah atau rezim pemerintahan itu baik atau buruk tentu juga ada unsur subjetifitas penilainnya.

Mungkin ada pemerintah yang dianggap baik karena sesuai harapan pendukung politiknya yang bisa memenuhi kriteria walaupun mungkin juga masih terdapat banyak titik lemahnya.

MTM

Editor: Suardi Yadjib


Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah