Tradisi Lebaran ketupat tidak bertentangan dengan Islam

- 20 April 2024, 04:14 WIB
Ilustrasi: Pemudik diimbau tak bawa pengangguran ke Cimahi selepas Lebaran 2024.
Ilustrasi: Pemudik diimbau tak bawa pengangguran ke Cimahi selepas Lebaran 2024. /Pikiran Rakyat/Ririn Nur Febriani/
 
BUTOLPOST  --- Lebaran ketupat yang banyak dilaksanakan di beberapa daerah mbuat majelis ulama Indonesia (MUI) buka suara. Tradisi yang banyak dilaksanakan umat Islam itu dinilai baik dalam menjalin tali silaturahmi dan tidak bertentangan. 
 
Ketua Bidang Kerukunan Antar-umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) K.H. Yusnar Yusuf Rangkuti menyatakan bahwa tradisi Lebaran Ketupat tidak bertentangan dengan syariat Islam.

“Mengadakan Lebaran Ketupat itu tidak bertentangan dengan Islam. Hanya orang yang tidak suka saja yang bilang Lebaran Ketupat itu bertentangan dengan syariat,” kata Yusnar dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, tradisi tersebut justru perlu disuarakan bahwa memang tidak ada pertentangan antara budaya semacam itu dan agama. Menurutnya, Lebaran Ketupat sama halnya dengan kebiasaan mudik.
 
Baca Juga: Di acara Lebaran Mandura - KBF, Gubernur Rusdy Mastura Ajak Masyarakat Bersinergi Membangun Daerah

Mudik, kata Ketua Dewan Pertimbangan Pengurus Besar Al Washliyah itu, sejatinya produk budaya, bukan syariat agama, namun pelaksanaannya dilakukan oleh mayoritas umat Islam di Indonesia karena dinilai tidak bertentangan dengan ajaran agama.

Yusnar berujar, mudik jadi bertentangan dengan syariat Islam jika pemudik secara sengaja berbuat hal yang membahayakan bagi keselamatan dirinya, karena itu ia menilai kearifan lokal seperti mudik dan Lebaran Ketupat perlu mendapat apresiasi karena bisa memberikan efek positif terhadap kerukunan masyarakat.

Menyikapi pro dan kontra terhadap kebiasaan masyarakat pasca-Idul Fitri seperti Lebaran Ketupat, Yusnar justru beranggapan bahwa pemerintah perlu melembagakan penyelenggaraannya. Dengan kebijakan secara resmi, negara juga memiliki partisipasi aktif dalam kerukunan masyarakat dan kelestarian tradisi serta budaya.

Ia juga berharap agar segala bentuk kearifan lokal yang menyemarakkan Idul Fitri bisa berkontribusi dalam membangun moderasi beragama yang lebih baik, termasuk mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat sebagai dampak ikutannya.

Turut serta menjaga dan melestarikan nilai dan kearifan lokal dinilai dapat menghindarkan orang atau kelompok masyarakat dari pengaruh intoleransi dan radikalisme. Pihak yang cenderung menolak praktik budaya dan kearifan lokal seringkali belum memahami agama dengan komprehensif dan memandang sempit segala perkara.

“Sebab ketika budaya saat lebaran itu dibangun, intoleransi itu tidak akan terjadi. Misalnya saja ketika melakukan mudik, ketika para pemudik singgah di beberapa masjid, ada yang warga sekitar yang memberikan minum. Warga lainnya bahkan ada yang mempersilakan pemudik yang mampir untuk beristirahat di rumah mereka. Ini baru dari kegiatan mudik saja, belum yang lainnya,” imbuhnya.

Menurutnya, praktik beragama di Indonesia wajar diwarnai dengan beragam budaya karena negara ini terdiri dari banyak suku, agama, dan kebudayaan. Perbedaan praktik kehidupan, imbuh Yusnar, merupakan suatu keniscayaan yang tidak mungkin dibendung.

“Indonesia itu negara yang luar biasa. Menurut saya, negara kita ini sangat menarik untuk dikaji oleh dunia,” Yusnar.***

Editor: Suardi Yadjib


Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x